Minggu, 11 Desember 2011

Bab I Pendidikan dalam Dialektika Perubahan


Bab I
Pendidikan dalam Dialektika
Perubahan


A.   Signifikansi Pendidikan
Pendidikan memiliki makna yang sangat dalam kehidupan. Makna penting pendidikan ini telah menjadi kesepakatan yang luas dari setiap elemen masyarakat. Rasanya, tidak ada yang mengingkari, apalagi menolak, terhadap arti penting dan signifikansi pendidikan terhadap individu dan juga masyarakat. Lewat pendidikan, bias diukur maju mundurnya sebuah Negara. Sebuah negara akan tumbuh pesat dan maju dalam segenap bidang kehidupan jika ditopang oleh pendidikan yang berkualitas. Sebaliknya, kondisi pendidikan yang kacau dan amburadul akan berimplikasi pada kondisi Negara yang juga karut-marut.
            Ada cukup banyak bukti yang dapat memperkuat tesis ini. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Prancis, atau Inggris, memiliki system pendidikan yang sedemikian kukuh. Dengan topangan pendidikan yang kukuhdan tentu juga SDM yang mumpuni, negara-negara tersebut berada di garda depan kompetesi global. Sementara, Negara-negara yang sistem pendidikannya belum kukuh akan mudah terpuruk ketika menghadapi segenap persoalan. Dalam persaingan global, negara semacam ini akan mudah (di)tunduk(kan) dan “dikendalikan” oleh negara-negara maju.
            Indonesia adalah sebuah contoh konkret sebuah negara yang masuk dalam kategori kedua, yaitu negara dengan sistem pendidikan yang belum kukuh. Kondisi sistem yang semacam ini berimplikasi pada rapuhnya berbagai sendi kehidupan. Sebagai buktinya, semenjak krisis ekonomi menerpa lebih dari sepuluh tahun silam hingga sekarang, kondisi kehidupan bangsa Indonesia belum juga mengalami perbaikan secara signifikan. Berbagai persoalan saling berkelindan dan tidak mudah untuk diurai. Pergantian presiden telah berulang-ulang terjadi, tetapi tidak banyak terjadi perubahan sebagaimana menjadi harapan bersama seluruh masyarakat. Justru, dari hari ke hari beragam persoalan dating menerpa tanpa mampu untuk diselesaikan dengan baik.
            Salah satu factor yang menjadi penyebab sulitnya Indonesia bangkit dari keterpurukan adalah karena sistem pendidikan Indonesia masih amburadul dan belum mampu menghasilkan output yang berkualitas. Alih-alih, justru dunia pendidikan Indonesia sendiri harus berhadapan dengan setumpuk persoalan yang cukup rumit. Bukan berarti tidak ada langkah atau kebijakan yang dikeluarkan untuk menyelesaikan segenap persoalan yang ada. Namun, fakta menunjukkan bahwa langkah atau kebijakan yang ada hampir selalu menuai kontroversi dan tidak menjawab persoalan sampai pada tingkat yang paling dasar sehingga secara umum kondisi dunia pendidikan Indonesia nyaris tidak mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
            Hal yang sebenarnya mendesak untuk dilakukan adalah membuat langkah strategis dan sistematis untuk merekonstruksi sistem pendidikan Indonesia. Dengan cara yang semacam ini, diharapkan akan terbangun sebuah pemahaman yang lebih utuh terhadap realitas pendidikan yang sesungguhnya, sekaligus ditemukan solusi yang tepat terhadap setiap persoalan yang ada.
            Dalam kerangka rekonstruksi, ada banyak hal yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah belajar dari pengalaman negara-negara maju dalam membangun dunia pendidikannya. Banyak negara maju yang apad awalnya terpuruk oleh beragam persoalan, namun kemudian mampu bangkit dan meraih kejayaan. Satu contoh untuk kasus ini yaitu Jepang. Negara yang juga dikenal sebagai negeri Matahari Terbit ini merupakan salah satu negara yang tergolong maju. Padahal pada tahun 1945, hampir bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, negara tersebut hancur luluh lantak oleh bom atom. Akan tetapi, dengan cepat mereka bangkit dan menjadi salah satu negara maju yang cukup disegani.
            Salah satu kunci kemajuan Jepang adalah perhatiannya yang sangat besar terhadap dunia pendidikan. Dua kota besar di Jepang, yaitu Hirosima dan Nagasaki, hancur luluh setelah setelah dibom atom oleh tentara sekutu pada 1945. Dalam puing-puing kehancuran, Kaisar Jepang kala itu, memerintahkan untuk menghimpun para guru yang masih hidup. Guru menjadi pusat perhatian utama Kaisar karena Kaisar meyakini bahwa dengan adanya guru, Jepang akan dapat bangkit kembali. Guru diyakini sebagai kunci utama kesuksesan proses pendidikan dan pada akhirnya juga menjadi kunci utama kemajuan atau kemunduran.
            Perhatian yang besar terhadap guru ini kemudian diwujudkan dalam kerja-kerja konkret  untuk memajukan dunia pendidikan. Guru menjadi profesi yang sangat dihargai. M enjadi guru bukan pekerjaan yang mudah dan asal-asalan sebab guru adalah kunci dalam dunia pendidikan. Guru dipilih berdasarkan seleksi ketat dengan kualisifikasi tinggi. Konsekuensinya, tingkat kesejahteraan guru juga begitu diperhatikan. Dengan perhatiannya yang sangat besar terhadap guru dan unia pendidikan, Jepang telah melakukan revolusi besar-besaran dalam dunia pendidikan untuk mengejar ketinggalan.
            Sebagai hasilnya, kini dunia menyaksikan Jepang sebagai salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemajuan secara pesat dalam (hampir) seluruh dimensi kehidupan. Jepang mampu bangkit dari keterpurukan dengan titik pijak pada membangun sistem pendidikan yang kukuh. Output yang dihasilkan dunia pendidikan Jepang adalah manusia-manusia andal dan berkualitas. Dengan manusia semacam ini, Jepang melakukan beragam terobosan kreatif yang mengagumkan.
            Salah satu bentuk terobosannya adalah Sogho Shosa, yaitu sebuah institusi komersil yang tipikal dank has dari Jepang yang memiliki hubungan erat dengan transformasi dramatis. Dengan Sogo Shosa, Jepang mampu mengubah “wajah” negaranya; dari suatu negara terbelakang, agraris, dan feudal menjadi suatu kekuataun industry modern peringkat pertama.[1]
            Sogo Shosa menjadi salah satu pilar ekonomi Jepang karena ditopang oleh kualitas Sumber Daya Manusi (SDM) yang mumpuni. Dengan SDM yang dimiliki, Jepang mampu menghasilkan beragam produk barang dab jasa yang menguasai dunia. SDM betul-betul dipersiapkan dengan baik agar dapat bekerja professional dan menghasilkan produk yang berkualitas. Kunio menggambarkan dengan sangat menarik proses pelatihan untuk meningkatkan SDM dalam Sogo Shosa. Menurut Kunio, pelatihan kerja khas dilakukan dengan “sistem instruktur”. Orang yang direkrut ditugaskan sebagai asisten pada seorang anggota staf yang telah mempunyai pengalaman professional selama beberapa tahun dan yang mempunyai tugas spesifik untuk melakukan sesuatu dalam bisnis perusahaan.
Senior ini belum memegang kedudukan manajerial, tetapi ia memberikan instruksi kepada yang direkrut secara langsung, tidak hanya dalam tugas-tugas rutin yang praktis, tetapi juga tentang perilaku sebagai seorang usahawan. Aspek yang secara khusus diperhatikan adalah sikap dan tingkah laku. Hubungan pribadi juga ditekankan, dan dengan demikian, instruktur ini sekaligus juga adalah kawan dan saudara tua bagi karyawan baru. Hubungan ini berlanjut selama setahun.
Selama periode di bawah instruktur, karyawan baru itu juga melakukan pelatihan di luar pekerjaan. Bentuk pelatihannya terdiri dari pelajaran di kelas yang dilakukan dalam jam-jam kerja. Setiap hari, sekitar satu jam, karyawan baru duperuntukkan sebagai pelatihan dasar dalam hal-hal praktis. Mereka mempelajari mata uang asing, prosedur, dan peraturan perdagangan, akuntansi penjualan, dan lain-lain. Pelajaran bahasa diberikan pula untuk memberikan  kemampuan berbicara, yang diabaikan dalam kurikulum sekola-sekolah di Jepang.
Selama pelatihan kerja khas dan di luar kerja ini, kesesuaian dan mutu karyawan baru dievaluasi dan kesukaannya diperhatikan. Dengan dasar ini, bila tahun pelatihan itu sudah selesai, karyawan baru diberikan tugas pertama kalinya untuk melakukan tugas bisnis yang spesifik. Inilah permulaan proses spesialisasi dirinya.[2]
Deskripsi Kunio tentang Sogo Sosha tersebut  memberikan sebuah petunjuk usaha yang tidak main-main dan betapa seriusnya Jepang dalam memberikan perhatian terhadap peningkatan kapasitas dan kualitas manusia. Pembangunan kapasitas dan kulaitas manusia Jepang yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan berkesinambungan, sebagaimana diuraikan Kunio, membawa implikasi yang konkret dan dalam skala luas. Jepang kini memiliki ribuan perusahaan yang menguasai perdagangan dunia, memiliki perguruan tinggi berkelas dunia, dan berbagai prestasi monumental lainnya. Penopang utamanya  adalah kualitas manusia yang terus menerus ditempa dengan pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, wajar jika barang-barang produksi Jepang begitu mendominasi pasaran dunia, termasuk di Indonesia.
Sejatinya, makna penting pendidikan telah menjadi kesadaran semua pihak. Rasanya, tidak ada yang menafikan arti dan makna penting pendidikan. Hak ini dilandasi oleh sebuah dasar pemikiran bahwa pendidikan diyakini sebagai elemen palins substansial bagi proses transformasi dalam skala luas- mulai transformasi pengetahuan, transformasi nilai, hingga transformasi social kemasyarakatan. Melalui pendidikan, semua bentuk transformasi tersebut akan berjalan dalam kerangka yang lebih efektif dan efesien sehingga diharapkan akan dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan. Lewat pendidikan juga, akan terbangun beragam transformasi lain, termasuk juga transformasi dalam bidang kebudayaan.[3]
Dalam konteks kehidupan social-kultual modern, pendidikan bukan hanya sebagai institusi untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai institusi yang berdimensi social. Sebagai institusi social, pendidikan mempunyai kedudukan ganda: strategis dan kritis. Posisi strategis pendidikan, sebagaimana dikatakan Christopher J. Lucas, disebabkan pendidikan menyimpan suatu kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup. Oleh karena itu, pendidikan harus dapat memberikan informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup dan masa depan di dunia, serta membantu anak didik dalam mempersiapkan kebutuhan yang esensial untuk menghadapi perubahan. Terkait dengan kedudukan yang strategis ini, sosiolog Emile Durkheirn menegaskan bahwa pendidikan memegang kendali penting dalam memepertahankan kelanggengan kehidupan social masyarakat, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi segala bentuk ancaman dan tantangan masa depan.
Sedangkan, kedudukan kritis pendidikan terletak pada posisinya sebagai bagian dari institusi social. Oleh karena itu, pendidikan harus melakukan langkah adoptif dan adaptif. Jika kedua langkah ini tidak dilakukan, yang terjadi emudian adalah adanya kekhawatiran terhadap munculnya kritisisme yang ditandai dengan muncul dan berkembangnya beberapa bentuk kesenjangan antara dunia pendidikan dan kehidupan.[4] 
Realitas dunia pendidikan Indonesia saat ini tampaknya menunjukkan semakin terpisahnya antara apa yang dipelajari di bangku sekolah dan pengalaman konkret dalam masyarakat. Lihat saja bagaimana lulusan dunia pendidikan begitu gagap saat harus menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Apa yang dilihat dan harus dipecahkan dalam kehidupan lebih sering tidak “nyambung” (match) dengan teori yang dihafal di bangku kelas. Dengan demikian, pendidikan menghasilkan output  yang tidak selaras dengan dinamika kihidupan yang terus berkembang secara pesat. Ada kecanggungan dan juga keterpisahan yang semakin melebar antara idealitas dunia pendidikan dan realitas kehidupan yang kian kompleks.
Kondisi ini tentu saja membutuhkan pemikiran serius untuk memecahkannya. Pemecahannya pun juga harus bersifat komprehensif, tidak parsial. Jika tidak, dunia pendidikan Indonesia kian hari akan kian terpuruk. Signifikansi pendidikan pun akan semakin tereduksi oleh bingkai formalitas yang kosong substansi.
B.   Pendidikan dalam Perspektif Islam
Signifikansi pendidikan juga menjadi titik perhatian dalam ajaran Islam. Islam menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital. Indikasinya sangat jelas, yaitu lima ayat pertama Al-Quran (QS Al-‘Alaq) yang berisi perintah membaca. Selain itu, ada puluhan ayat yang menekankan pentingnya berpikir, meneliti, dan memahami realitas secara keseluruhan.
            Membaca yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam memiliki korelasi yang sangat erat dengan pendidikan sekarang ini. Membaca justru menjadi inti dalam pendidikan. Lewat membaca, akan bias di peroleh informasi dan kekayaan khasanah kehidupan yang tidak terbatas. Membaca adalah jendela ilmu pengetahuan yang siap mengantarkan pembacanya ke wilayah yang luas tak bertepi. Membaca, kata sastrawan penulis novel Don Quixote de la Mancha, Miguel de Cervantes, akan mampu mengubah diri, lingkungan, mimpi, bahkan mampu untuk mengubah dunia.[5]
            Membaca yang mampu mengubah, sebagaimana disinyalir da dalam la Mancha, bukanlah membaca sekedarnya atau asal membaca. Menurut Hernowo, membaca akan membawa hasil optimal, dalam arti membaca membawa potensi besar untuk melakukan perubahan, manakala dilakukan dengan beberapa karesteristik. Pertama, sabar. Kesabaran diperlukan pada saat membaca karena bila tergesa-gesa, bias jadi kesimpulannya salah. Selain itu, membaca memang membutuhkan penghayatan agar bias menyibak hal-hal yang terselububg dalam teks. Selubung itu tidak mampu disingkap jika pembaca tidak mnemiliki kesabaran dalam membaca.
            Kedua, telaten. Ketelatenan pada dasarnya berkaitan erat denganh kesabaran. Keduanya berkait kelindan dan tidak dapat dipisahkan. Ketelatenan dalam memungut makna-makna yang tersebar disepanjang halaman buku dan kemudian mengumpulkan dan menghimpunnya, amat diperlukan. Sebab, jika tidak telaten, akan banyak gagasan yang menguap dan bersembunyi kembali.
            Ketiga, tekun. Ketekunan diperlukan untuk membantu kita menyisir himpunan kata, kalimat, alinea, bab, dan bagian demi bagian yang menyimpan gagasan pokok untuk diperhatikan.
            Keempat, gigih. Kegigihan akan mendorong agar tidak sekali baca sesuadah itu mati. Artinya, bisa jadi perlu mengulang pembacaan hingga lebih dari sekali. Sangat mungkin dalam pembacaan yang kesekian kalinya akan ditemukan sesuatu yang sama sekali baru.
            Kelima, sungguh-sungguh. Kesungguhan dalam menemukan makna, memahami maksud penulis, dan mengajak pikiran memelototi hal-hal menarik dan penting yang disampaikan seorang penulis akan menghadirkan manfaat yang tidak terduga.[6]  
            Selain anjuran untuk membaca, pesan-pesan Al-Quran dalam hubungannya dengan pendidikan pun dapat dijumpai dalam berbagai surat atau ayat dengan beragam ungkapan, pernyataan, atau kisah.[7]
Hal ini membuktikan betapa pendidikan menempati posisi penting dalam ajaran Islam. Untuk melacak signifikansi pendidikan secara terminologis menjadi sesuatu yang sangat penting. Terminologi pendidikan, kalau kita lacak di dalam Al-Quran, disebutkan dengan kata Rabb yang merupakan akar kata tarbiyah (pendidikan).[8] Selain dengan kata tarbiyah, kata-kata lain yang bermakna pendidikan adalah ta’lim, hta’dib, dan tahzib.[9]
Dalam konteksyang berbeda, kata ‘ilm dan derivasinya digunakan paling dominan dalam Al-Quran untuk menunjukkan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan. Hal ini dikukuhkan oleh pernyataan Ismail R. Al-Faruqi dan Louis Lamnya’ Al-Faruqi. Menurut pasangan ilmuan tersebut, mIslam mengidentifikasi dirinya dengan ilmu. Bagi Islam, ilmu adalah syari’at dan sekaligus tujuan agama ini.[10] Pernyataan ini jelas-jelas menunjukkan penghormatan dan penghargaan Islam terhadap ilmu. Jika dianalogikan secara  lebih jauh, ilmu tidak akan bias diperoleh secara maksimal kecuali lewat jalur pendidikan. Hal ini selaras dengan pernyataan Abdurrahman An-Nahlawi yang menyebutkan bahwa tujuan terpenting dari diturukannya Al-Quran adalah untuk mendidika manusia.[11] Ini berarti bahwa manusia adalah makhluk yang dapa dididik (human educable)[12] dalam makna yang luas. Dengan demikan, jelas bahwa Islam adalah agama yang sangat memberikan penekanan kepada umatnya untuk menuntut ilmu.
Pendidikan dalam maknanya yang luas tidak hanya dibatasi oleh formalitas dalam bentuk transfer ilmu pengetahuan dalam ruang kelas yang dilakukan oleh seorang guru kepada murid, tetapi termanifestasi dalam beragam aktivitas, beragam metode, dan beragam media. Dalam konteks ini, segala hal yang memberikan nilai manfaat dan makna hidup dapat dikategorikan sebagai kegiatan pendidikan. Maka, kita pun sering mendengar kata-kata “Universitas Kehidupan” yang dipopulerkan sastrawan-budayawan Emha Ainun Nadjid, atau paraphrase “manusia pembelajar” dari An drias Harefa, atau beberapa istilah lainnya. Tentu, apa yang dimaksudkan bukanlah pendidikan secara formal yang terbatasi dalam institusi formal, melainkan pendidikan yang lebih menekankan pada substansi transformasi pengetahuan, wawasan, dan sikap hidup secara lebih luas.
C.   Realitas Pendidikan Indonesia
Jika kita cermati, realitas pendidikan Indonesia saat ini memang masih sangat jauh dari harapan. Selain perlunya perluasan kesempatan pendidikan, dari sisi kualitas, masih banyak aspek yang harus diperbaiki secara terus-menerus. Realitas kompetisi global telah memaksa, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap dunia pendidikan pendidikan Indonesia untuk berbenah dan terlibat dalam kompetisi ini. Dengan bterus-menerus melakukan perbaikan, diharapkan dunai pendidikan Indonesia mampu bersaing dengan pendidikan di negara-negara lain.
            Hasil survey UNESCO tahun 2004 tentang kualitas pendidikan di dunia menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-114 dari sekitar 175 negara di dunia. Peringkat ini jauh di bawah Malaysia, Filifina, maupun Singapura. Memang cukup memprihatinkan. Akan tetapi, inilah realitas sesungguhnya yang harus kita hadapi.
            Di era 1970-an, kualitas pendidikan Indonesia terhitung cukup maju dibandingan dengan beberapa negara tetangga, terutama Malaysia, menuntut ilmu di berbagai sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Usaha pemerintah Malaysia ini memiliki dampak signifikan bagi perkembangan dunia pendidikan di negeri jiran tersebut. Kini, kualitas pendidikan


[1]  Yoshihara Kunio, Sogo Shosa, Pemandu Kemajuan Ekonomi Jepang, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 1- 2.
[2]  Ibid., hlm. 267-268.
[3]  M. Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 35.
[4]  Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hlm. 145.
[5]  Cerita menarik tentang Don Quixote de la Mancha dalam kaitannya dengan membaca dapat disimak dalam Shindunata, “Ambil dan Bacalah”, dalam Ajip Rosidi et.al, Bukuku Kakiku, (Jakarta: Gramedia, 2004) hlm.337-354. Buku-buku lain yang mengulas tentang makna penting membaca di antaranya; Henry Guntur Taringan,  Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 1990); I Gusti Ngurah Oka, Pengantar Membaca dan Pengajarannya, (Surabaya; Usaha Nasional, t.t,); Hernowo, Mengikat Makna, Kiat-Kiat Ampuh Untuk Melejitkan Kemauan Plus Kemampuan Membaca dan Menulis Buku, (Bandung: Kaifa, 2001); dan Mulyadi Kartanegara, Seni Mengukir Kata, (Bandung: MLC, 2005).
[6]  Herwono, Mengikat…, hlm. 68.
[7]  Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), hlm. 4.
[8]  Ibn Manzhur,  Lisan al-‘Arab, J.I., (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hlm. 386.
[9]  Diskursus terminologis pendidikan Islam dapat disimak dalam Ali Asyrof, Horizon Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
[10]  Ismail R. al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 230.
[11]  Abdurrahman An-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha,Terj. Herry Noer Ali (Bandung: CV. Diponegoro, 1989), hlm. 45. Lihat juga QS. Al-‘Alaq (96): 1-5.
[12]  Ibid. Lihat juga QS Al-Syams (91), hlm. 1-10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar