Bab I
Pendidikan dalam
Dialektika
Perubahan
A.
Signifikansi
Pendidikan
Pendidikan
memiliki makna yang sangat dalam kehidupan. Makna penting pendidikan ini telah
menjadi kesepakatan yang luas dari setiap elemen masyarakat. Rasanya, tidak ada
yang mengingkari, apalagi menolak, terhadap arti penting dan signifikansi
pendidikan terhadap individu dan juga masyarakat. Lewat pendidikan, bias diukur
maju mundurnya sebuah Negara. Sebuah negara akan tumbuh pesat dan maju dalam
segenap bidang kehidupan jika ditopang oleh pendidikan yang berkualitas.
Sebaliknya, kondisi pendidikan yang kacau dan amburadul akan berimplikasi pada
kondisi Negara yang juga karut-marut.
Ada cukup banyak bukti yang dapat
memperkuat tesis ini. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang,
Singapura, Korea Selatan, Prancis, atau Inggris, memiliki system pendidikan
yang sedemikian kukuh. Dengan topangan pendidikan yang kukuhdan tentu juga SDM
yang mumpuni, negara-negara tersebut berada di garda depan kompetesi global.
Sementara, Negara-negara yang sistem pendidikannya belum kukuh akan mudah
terpuruk ketika menghadapi segenap persoalan. Dalam persaingan global, negara
semacam ini akan mudah (di)tunduk(kan) dan “dikendalikan” oleh negara-negara
maju.
Indonesia adalah sebuah contoh
konkret sebuah negara yang masuk dalam kategori kedua, yaitu negara dengan
sistem pendidikan yang belum kukuh. Kondisi sistem yang semacam ini
berimplikasi pada rapuhnya berbagai sendi kehidupan. Sebagai buktinya, semenjak
krisis ekonomi menerpa lebih dari sepuluh tahun silam hingga sekarang, kondisi
kehidupan bangsa Indonesia belum juga mengalami perbaikan secara signifikan.
Berbagai persoalan saling berkelindan dan tidak mudah untuk diurai. Pergantian
presiden telah berulang-ulang terjadi, tetapi tidak banyak terjadi perubahan
sebagaimana menjadi harapan bersama seluruh masyarakat. Justru, dari hari ke
hari beragam persoalan dating menerpa tanpa mampu untuk diselesaikan dengan
baik.
Salah satu factor yang menjadi
penyebab sulitnya Indonesia bangkit dari keterpurukan adalah karena sistem
pendidikan Indonesia masih amburadul dan belum mampu menghasilkan output yang berkualitas. Alih-alih,
justru dunia pendidikan Indonesia sendiri harus berhadapan dengan setumpuk
persoalan yang cukup rumit. Bukan berarti tidak ada langkah atau kebijakan yang
dikeluarkan untuk menyelesaikan segenap persoalan yang ada. Namun, fakta
menunjukkan bahwa langkah atau kebijakan yang ada hampir selalu menuai
kontroversi dan tidak menjawab persoalan sampai pada tingkat yang paling dasar
sehingga secara umum kondisi dunia pendidikan Indonesia nyaris tidak mengalami
peningkatan dari waktu ke waktu.
Hal yang sebenarnya mendesak untuk
dilakukan adalah membuat langkah strategis dan sistematis untuk merekonstruksi
sistem pendidikan Indonesia. Dengan cara yang semacam ini, diharapkan akan terbangun
sebuah pemahaman yang lebih utuh terhadap realitas pendidikan yang
sesungguhnya, sekaligus ditemukan solusi yang tepat terhadap setiap persoalan
yang ada.
Dalam kerangka rekonstruksi, ada
banyak hal yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah belajar dari pengalaman
negara-negara maju dalam membangun dunia pendidikannya. Banyak negara maju yang
apad awalnya terpuruk oleh beragam persoalan, namun kemudian mampu bangkit dan
meraih kejayaan. Satu contoh untuk kasus ini yaitu Jepang. Negara yang juga
dikenal sebagai negeri Matahari Terbit ini merupakan salah satu negara yang
tergolong maju. Padahal pada tahun 1945, hampir bersamaan dengan kemerdekaan
Indonesia, negara tersebut hancur luluh lantak oleh bom atom. Akan tetapi,
dengan cepat mereka bangkit dan menjadi salah satu negara maju yang cukup
disegani.
Salah satu kunci kemajuan Jepang
adalah perhatiannya yang sangat besar terhadap dunia pendidikan. Dua kota besar
di Jepang, yaitu Hirosima dan Nagasaki, hancur luluh setelah setelah dibom atom
oleh tentara sekutu pada 1945. Dalam puing-puing kehancuran, Kaisar Jepang kala
itu, memerintahkan untuk menghimpun para guru yang masih hidup. Guru menjadi
pusat perhatian utama Kaisar karena Kaisar meyakini bahwa dengan adanya guru,
Jepang akan dapat bangkit kembali. Guru diyakini sebagai kunci utama kesuksesan
proses pendidikan dan pada akhirnya juga menjadi kunci utama kemajuan atau
kemunduran.
Perhatian yang besar terhadap guru
ini kemudian diwujudkan dalam kerja-kerja konkret untuk memajukan dunia pendidikan. Guru
menjadi profesi yang sangat dihargai. M enjadi guru bukan pekerjaan yang mudah
dan asal-asalan sebab guru adalah kunci dalam dunia pendidikan. Guru dipilih
berdasarkan seleksi ketat dengan kualisifikasi tinggi. Konsekuensinya, tingkat
kesejahteraan guru juga begitu diperhatikan. Dengan perhatiannya yang sangat besar
terhadap guru dan unia pendidikan, Jepang telah melakukan revolusi
besar-besaran dalam dunia pendidikan untuk mengejar ketinggalan.
Sebagai hasilnya, kini dunia
menyaksikan Jepang sebagai salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
dan kemajuan secara pesat dalam (hampir) seluruh dimensi kehidupan. Jepang
mampu bangkit dari keterpurukan dengan titik pijak pada membangun sistem
pendidikan yang kukuh. Output yang
dihasilkan dunia pendidikan Jepang adalah manusia-manusia andal dan
berkualitas. Dengan manusia semacam ini, Jepang melakukan beragam terobosan
kreatif yang mengagumkan.
Salah satu bentuk terobosannya
adalah Sogho Shosa, yaitu sebuah institusi komersil yang tipikal dank has dari
Jepang yang memiliki hubungan erat dengan transformasi dramatis. Dengan Sogo
Shosa, Jepang mampu mengubah “wajah” negaranya; dari suatu negara terbelakang,
agraris, dan feudal menjadi suatu kekuataun industry modern peringkat pertama.[1]
Sogo Shosa menjadi salah satu pilar
ekonomi Jepang karena ditopang oleh kualitas Sumber Daya Manusi (SDM) yang
mumpuni. Dengan SDM yang dimiliki, Jepang mampu menghasilkan beragam produk
barang dab jasa yang menguasai dunia. SDM betul-betul dipersiapkan dengan baik
agar dapat bekerja professional dan menghasilkan produk yang berkualitas. Kunio
menggambarkan dengan sangat menarik proses pelatihan untuk meningkatkan SDM
dalam Sogo Shosa. Menurut Kunio, pelatihan kerja khas dilakukan dengan “sistem
instruktur”. Orang yang direkrut ditugaskan sebagai asisten pada seorang
anggota staf yang telah mempunyai pengalaman professional selama beberapa tahun
dan yang mempunyai tugas spesifik untuk melakukan sesuatu dalam bisnis
perusahaan.
Senior
ini belum memegang kedudukan manajerial, tetapi ia memberikan instruksi kepada
yang direkrut secara langsung, tidak hanya dalam tugas-tugas rutin yang
praktis, tetapi juga tentang perilaku sebagai seorang usahawan. Aspek yang
secara khusus diperhatikan adalah sikap dan tingkah laku. Hubungan pribadi juga
ditekankan, dan dengan demikian, instruktur ini sekaligus juga adalah kawan dan
saudara tua bagi karyawan baru. Hubungan ini berlanjut selama setahun.
Selama
periode di bawah instruktur, karyawan baru itu juga melakukan pelatihan di luar
pekerjaan. Bentuk pelatihannya terdiri dari pelajaran di kelas yang dilakukan
dalam jam-jam kerja. Setiap hari, sekitar satu jam, karyawan baru duperuntukkan
sebagai pelatihan dasar dalam hal-hal praktis. Mereka mempelajari mata uang
asing, prosedur, dan peraturan perdagangan, akuntansi penjualan, dan lain-lain.
Pelajaran bahasa diberikan pula untuk memberikan kemampuan berbicara, yang diabaikan dalam
kurikulum sekola-sekolah di Jepang.
Selama
pelatihan kerja khas dan di luar kerja ini, kesesuaian dan mutu karyawan baru
dievaluasi dan kesukaannya diperhatikan. Dengan dasar ini, bila tahun pelatihan
itu sudah selesai, karyawan baru diberikan tugas pertama kalinya untuk melakukan
tugas bisnis yang spesifik. Inilah permulaan proses spesialisasi dirinya.[2]
Deskripsi
Kunio tentang Sogo Sosha tersebut
memberikan sebuah petunjuk usaha yang tidak main-main dan betapa
seriusnya Jepang dalam memberikan perhatian terhadap peningkatan kapasitas dan
kualitas manusia. Pembangunan kapasitas dan kulaitas manusia Jepang yang
dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan berkesinambungan, sebagaimana
diuraikan Kunio, membawa implikasi yang konkret dan dalam skala luas. Jepang
kini memiliki ribuan perusahaan yang menguasai perdagangan dunia, memiliki
perguruan tinggi berkelas dunia, dan berbagai prestasi monumental lainnya.
Penopang utamanya adalah kualitas
manusia yang terus menerus ditempa dengan pendidikan yang berkualitas. Oleh
karena itu, wajar jika barang-barang produksi Jepang begitu mendominasi pasaran
dunia, termasuk di Indonesia.
Sejatinya,
makna penting pendidikan telah menjadi kesadaran semua pihak. Rasanya, tidak
ada yang menafikan arti dan makna penting pendidikan. Hak ini dilandasi oleh
sebuah dasar pemikiran bahwa pendidikan diyakini sebagai elemen palins
substansial bagi proses transformasi dalam skala luas- mulai transformasi
pengetahuan, transformasi nilai, hingga transformasi social kemasyarakatan.
Melalui pendidikan, semua bentuk transformasi tersebut akan berjalan dalam
kerangka yang lebih efektif dan efesien sehingga diharapkan akan dapat mencapai
tujuan sebagaimana yang diharapkan. Lewat pendidikan juga, akan terbangun
beragam transformasi lain, termasuk juga transformasi dalam bidang kebudayaan.[3]
Dalam
konteks kehidupan social-kultual modern, pendidikan bukan hanya sebagai
institusi untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai institusi yang
berdimensi social. Sebagai institusi social, pendidikan mempunyai kedudukan
ganda: strategis dan kritis. Posisi strategis pendidikan, sebagaimana dikatakan
Christopher J. Lucas, disebabkan pendidikan menyimpan suatu kekuatan yang luar
biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup. Oleh karena itu,
pendidikan harus dapat memberikan informasi yang paling berharga mengenai
pegangan hidup dan masa depan di dunia, serta membantu anak didik dalam
mempersiapkan kebutuhan yang esensial untuk menghadapi perubahan. Terkait
dengan kedudukan yang strategis ini, sosiolog Emile Durkheirn menegaskan bahwa
pendidikan memegang kendali penting dalam memepertahankan kelanggengan
kehidupan social masyarakat, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi segala
bentuk ancaman dan tantangan masa depan.
Sedangkan,
kedudukan kritis pendidikan terletak pada posisinya sebagai bagian dari
institusi social. Oleh karena itu, pendidikan harus melakukan langkah adoptif
dan adaptif. Jika kedua langkah ini tidak dilakukan, yang terjadi emudian
adalah adanya kekhawatiran terhadap munculnya kritisisme yang ditandai dengan
muncul dan berkembangnya beberapa bentuk kesenjangan antara dunia pendidikan
dan kehidupan.[4]
Realitas
dunia pendidikan Indonesia saat ini tampaknya menunjukkan semakin terpisahnya
antara apa yang dipelajari di bangku sekolah dan pengalaman konkret dalam
masyarakat. Lihat saja bagaimana lulusan dunia pendidikan begitu gagap saat
harus menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Apa yang dilihat dan harus
dipecahkan dalam kehidupan lebih sering tidak “nyambung” (match) dengan teori yang dihafal di bangku kelas. Dengan demikian,
pendidikan menghasilkan output yang tidak selaras dengan dinamika kihidupan
yang terus berkembang secara pesat. Ada kecanggungan dan juga keterpisahan yang
semakin melebar antara idealitas dunia pendidikan dan realitas kehidupan yang
kian kompleks.
Kondisi
ini tentu saja membutuhkan pemikiran serius untuk memecahkannya. Pemecahannya
pun juga harus bersifat komprehensif, tidak parsial. Jika tidak, dunia
pendidikan Indonesia kian hari akan kian terpuruk. Signifikansi pendidikan pun
akan semakin tereduksi oleh bingkai formalitas yang kosong substansi.
B.
Pendidikan
dalam Perspektif Islam
Signifikansi
pendidikan juga menjadi titik perhatian dalam ajaran Islam. Islam menempatkan
pendidikan dalam posisi yang sangat vital. Indikasinya sangat jelas, yaitu lima
ayat pertama Al-Quran (QS Al-‘Alaq) yang berisi perintah membaca. Selain itu,
ada puluhan ayat yang menekankan pentingnya berpikir, meneliti, dan memahami
realitas secara keseluruhan.
Membaca yang sangat dianjurkan dalam
ajaran Islam memiliki korelasi yang sangat erat dengan pendidikan sekarang ini.
Membaca justru menjadi inti dalam pendidikan. Lewat membaca, akan bias di
peroleh informasi dan kekayaan khasanah kehidupan yang tidak terbatas. Membaca
adalah jendela ilmu pengetahuan yang siap mengantarkan pembacanya ke wilayah
yang luas tak bertepi. Membaca, kata sastrawan penulis novel Don Quixote de la Mancha, Miguel de
Cervantes, akan mampu mengubah diri, lingkungan, mimpi, bahkan mampu untuk
mengubah dunia.[5]
Membaca yang mampu mengubah,
sebagaimana disinyalir da dalam la Mancha,
bukanlah membaca sekedarnya atau asal membaca. Menurut Hernowo, membaca akan
membawa hasil optimal, dalam arti membaca membawa potensi besar untuk melakukan
perubahan, manakala dilakukan dengan beberapa karesteristik. Pertama, sabar.
Kesabaran diperlukan pada saat membaca karena bila tergesa-gesa, bias jadi
kesimpulannya salah. Selain itu, membaca memang membutuhkan penghayatan agar
bias menyibak hal-hal yang terselububg dalam teks. Selubung itu tidak mampu
disingkap jika pembaca tidak mnemiliki kesabaran dalam membaca.
Kedua, telaten. Ketelatenan pada
dasarnya berkaitan erat denganh kesabaran. Keduanya berkait kelindan dan tidak
dapat dipisahkan. Ketelatenan dalam memungut makna-makna yang tersebar
disepanjang halaman buku dan kemudian mengumpulkan dan menghimpunnya, amat
diperlukan. Sebab, jika tidak telaten, akan banyak gagasan yang menguap dan
bersembunyi kembali.
Ketiga, tekun. Ketekunan diperlukan
untuk membantu kita menyisir himpunan kata, kalimat, alinea, bab, dan bagian
demi bagian yang menyimpan gagasan pokok untuk diperhatikan.
Keempat, gigih. Kegigihan akan
mendorong agar tidak sekali baca sesuadah itu mati. Artinya, bisa jadi perlu
mengulang pembacaan hingga lebih dari sekali. Sangat mungkin dalam pembacaan
yang kesekian kalinya akan ditemukan sesuatu yang sama sekali baru.
Kelima, sungguh-sungguh. Kesungguhan
dalam menemukan makna, memahami maksud penulis, dan mengajak pikiran memelototi
hal-hal menarik dan penting yang disampaikan seorang penulis akan menghadirkan
manfaat yang tidak terduga.[6]
Selain anjuran untuk membaca,
pesan-pesan Al-Quran dalam hubungannya dengan pendidikan pun dapat dijumpai
dalam berbagai surat atau ayat dengan beragam ungkapan, pernyataan, atau kisah.[7]
Hal
ini membuktikan betapa pendidikan menempati posisi penting dalam ajaran Islam.
Untuk melacak signifikansi pendidikan secara terminologis menjadi sesuatu yang
sangat penting. Terminologi pendidikan, kalau kita lacak di dalam Al-Quran,
disebutkan dengan kata Rabb yang
merupakan akar kata tarbiyah (pendidikan).[8]
Selain dengan kata tarbiyah,
kata-kata lain yang bermakna pendidikan adalah ta’lim, hta’dib, dan tahzib.[9]
Dalam
konteksyang berbeda, kata ‘ilm dan
derivasinya digunakan paling dominan dalam Al-Quran untuk menunjukkan perhatian
Islam yang luar biasa terhadap pendidikan. Hal ini dikukuhkan oleh pernyataan
Ismail R. Al-Faruqi dan Louis Lamnya’ Al-Faruqi. Menurut pasangan ilmuan
tersebut, mIslam mengidentifikasi dirinya dengan ilmu. Bagi Islam, ilmu adalah
syari’at dan sekaligus tujuan agama ini.[10]
Pernyataan ini jelas-jelas menunjukkan penghormatan dan penghargaan Islam
terhadap ilmu. Jika dianalogikan secara
lebih jauh, ilmu tidak akan bias diperoleh secara maksimal kecuali lewat
jalur pendidikan. Hal ini selaras dengan pernyataan Abdurrahman An-Nahlawi yang
menyebutkan bahwa tujuan terpenting dari diturukannya Al-Quran adalah untuk
mendidika manusia.[11]
Ini berarti bahwa manusia adalah makhluk yang dapa dididik (human educable)[12]
dalam makna yang luas. Dengan demikan, jelas bahwa Islam adalah agama yang
sangat memberikan penekanan kepada umatnya untuk menuntut ilmu.
Pendidikan
dalam maknanya yang luas tidak hanya dibatasi oleh formalitas dalam bentuk
transfer ilmu pengetahuan dalam ruang kelas yang dilakukan oleh seorang guru
kepada murid, tetapi termanifestasi dalam beragam aktivitas, beragam metode,
dan beragam media. Dalam konteks ini, segala hal yang memberikan nilai manfaat
dan makna hidup dapat dikategorikan sebagai kegiatan pendidikan. Maka, kita pun
sering mendengar kata-kata “Universitas Kehidupan” yang dipopulerkan
sastrawan-budayawan Emha Ainun Nadjid, atau paraphrase “manusia pembelajar”
dari An drias Harefa, atau beberapa istilah lainnya. Tentu, apa yang
dimaksudkan bukanlah pendidikan secara formal yang terbatasi dalam institusi
formal, melainkan pendidikan yang lebih menekankan pada substansi transformasi
pengetahuan, wawasan, dan sikap hidup secara lebih luas.
C.
Realitas
Pendidikan Indonesia
Jika
kita cermati, realitas pendidikan Indonesia saat ini memang masih sangat jauh
dari harapan. Selain perlunya perluasan kesempatan pendidikan, dari sisi
kualitas, masih banyak aspek yang harus diperbaiki secara terus-menerus.
Realitas kompetisi global telah memaksa, baik langsung maupun tidak langsung,
terhadap dunia pendidikan pendidikan Indonesia untuk berbenah dan terlibat
dalam kompetisi ini. Dengan bterus-menerus melakukan perbaikan, diharapkan
dunai pendidikan Indonesia mampu bersaing dengan pendidikan di negara-negara lain.
Hasil survey UNESCO tahun 2004
tentang kualitas pendidikan di dunia menunjukkan bahwa Indonesia berada pada
peringkat ke-114 dari sekitar 175 negara di dunia. Peringkat ini jauh di bawah
Malaysia, Filifina, maupun Singapura. Memang cukup memprihatinkan. Akan tetapi,
inilah realitas sesungguhnya yang harus kita hadapi.
Di era 1970-an, kualitas pendidikan
Indonesia terhitung cukup maju dibandingan dengan beberapa negara tetangga,
terutama Malaysia, menuntut ilmu di berbagai sekolah dan perguruan tinggi di
Indonesia. Usaha pemerintah Malaysia ini memiliki dampak signifikan bagi
perkembangan dunia pendidikan di negeri jiran tersebut. Kini, kualitas
pendidikan
[1] Yoshihara
Kunio, Sogo Shosa, Pemandu Kemajuan
Ekonomi Jepang, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 1- 2.
[3] M.
Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung:
Alumni, 1989), hlm. 35.
[4] Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik,
(Yogyakarta: Sipress, 1994), hlm. 145.
[5] Cerita
menarik tentang Don Quixote de la Mancha
dalam kaitannya dengan membaca dapat disimak dalam Shindunata, “Ambil dan
Bacalah”, dalam Ajip Rosidi et.al, Bukuku
Kakiku, (Jakarta: Gramedia, 2004) hlm.337-354. Buku-buku lain yang mengulas
tentang makna penting membaca di antaranya; Henry Guntur Taringan, Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa, 1990); I Gusti Ngurah Oka, Pengantar
Membaca dan Pengajarannya, (Surabaya; Usaha Nasional, t.t,); Hernowo, Mengikat Makna, Kiat-Kiat Ampuh Untuk
Melejitkan Kemauan Plus Kemampuan Membaca dan Menulis Buku, (Bandung:
Kaifa, 2001); dan Mulyadi Kartanegara, Seni
Mengukir Kata, (Bandung: MLC, 2005).
[6]
Herwono, Mengikat…,
hlm. 68.
[7]
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001),
hlm. 4.
[8]
Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, J.I., (Beirut: Dar
al-Fikr, 1990), hlm. 386.
[9]
Diskursus terminologis pendidikan Islam dapat disimak dalam Ali Asyrof, Horizon Baru Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993).
[10]
Ismail R. al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 230.
[11] Abdurrahman An-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha,Terj. Herry Noer Ali
(Bandung: CV. Diponegoro, 1989), hlm. 45. Lihat juga QS. Al-‘Alaq (96): 1-5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar