TUGAS MAKALAH : ILMU FIKHI
MENENTUKAN KAIDAH USHULIAH
Karya Tulis makalah ini disusun sebagai salah satu syarat
dalam pelaksanaan mengikuti ujian akhir semester II
mata Kuliah Ushul Fikhi
UIN Alauddin Makassar
OLEH:
R A H M A T
20403110078
SEMESTER II (DUA)
JURUSAN
PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang senantiasa melimpahkan hidayah dan pertolongannya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah dari mata kuliah Ilmu Tafsir ini. Salawat
serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Ucapan terima kasih
kami haturkan kepada orang tua, guru pembimbing, teman dan para khalayak yang
telah memberikan dukungan motivasi sehingga kami dapat menyelesaikan karya
tulis ilmiah ini dengan sebaik-baiknya.
Kami sadar bahwa
didalam penyelesaian makalah ini
terdapat kesalahan dan kekhilapan kami, dan itu merupakan bagian yang tidak
dapat terlepas dari kami sebagai manusia biasa yang bisa berusaha dan berupaya
dan yang menjadi penentu adalah ketetapan dari Tuhan yang Maha Esa. Dan karena
itu saran akan perbaikan dari para khalayak senantiasa dapat memberikan
pembelajaran yang baik pada kami sebagai penulis.
Akhir kata doa yang
kami haturkan semoga apa yang menjadi refrensi dari makalah ini dapat diterima
dan dapat bermamfaat oleh para khalayak.
Makassar, Mei
2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Qaidah
secara etimologi adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya
sesuatu. Atau dapat juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya
(pokoknya).
Sementara itu Ushuliyyah
adalah Dalil syara’ yang bersifat
menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan
ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan
demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu
umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum adalah
wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan
bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali
ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu.
Menguasai
qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang
dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan
qaidah ushuliyyah, shingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah
ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah. Dari bahasan tersebut yaitu merupakan cakupan
yang akan dibahas dalam penyelesaian makalah ini.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada karya tulis makalah ini yaitu
mengenai Hukum bedah jenasah atau otopsi yang dilakukan oleh mahasiswa
kedokteran dan selanjutnya akan dibahas dalam kaidah ushuliah.
BAB II
PEMBAHASAN
Praktek yang dilakukan oleh fakultas
kedokteran untuk mengetahui seluk beluk organ tubuh manusia agar bisa
mendeteksi setiap organ tubuh yang tidak normal dan terserang penyakit serta
mengobatinya sedini mungkin atau untuk tujuan lainnya adalah dengan membedah
jasad mayat manusia. Apakah ini dibolehkan dalam pandangan syara’ ataukah tidak
? Karena praktek ini dilakukan hampir di semua fakultas kedokteran maka dengan
memohon taufiq kepada Allah SWT, Dalam referensi pembahasan ini dengan mengacu
pada tulisan Lajnah Hai’ah Kibarul Ulama’ Arab Saudi dengan beberapa tambahan.
Seorang muslim dan muslimah adalah terhormat dan terjaga
baik darah dan hartanya. Tidak boleh menodai kehormatan mereka, kecuali ada hak Islam yang mereka langgar.
Dasarnya adalah:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: (أُمِرْتُ أَنْ
أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهَمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ
بِحَقِّ الإِسْلامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى) رواه
البخاري ومسلم
Dari Ibnu Umar Radhiallahu
‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi
(bersyahadat), bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan sesungguhnya
Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika
mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka,
kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah perhitungan mereka.” (HR. Bukhari,
No. 25, dari Ibnu Umar , Muslim No. 35, dari Jabir bin Abdullah, juga No. 36
dari Ibnu Umar)
Jadi, setiap muslim telah terjaga (ma’shum)
darah dan hartanya, mereka tidak boleh disakiti sedikit pun oleh siapapun.
Tidak boleh dirusak kehidupannya, termasuk tubuhnya, kecuali karena hak Islam.
Apa maksud hak Islam di sini? Seorang yang enggan mengeluarkan zakat padahal
sudah mampu dan nishab, maka waliyul amri (pemimpin) berhak mengambil
hartanya; seseorang yang berzina maka dia dihukum rajam, seseorang yang mencuri
dengan jumlah yang mencapai nishab, maka dipotong tangannya, dan semisalnya.
Itulah pertumpahan darah dan pengambilan harta karena mereka melanggar hak
Islam. Larangan merusak dan menodai
seorang muslim ini, adalah ketika mereka masih hidup. Bagaimana ketika
sudah wafat?
Secara khusus, Islam melarang merusak seorang muslim yang sudah wafat, sebagaimana
hadits:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كَسْرُ
عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
Mematahkan tulang seorang mayit, sama halnya dengan
mematahkannya ketika dia masih hidup. (HR. Abu Daud No. 3207, Ibnu Majah No.
1616, Ahmad No. 24783, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Para perawinya
terpercaya dan merupakan perawi hadits shahih, kecuali Abdurrahman bin Ubay,
yang merupakan perawi kitab-kitab sunan, dan dia shaduq (jujur).” Lihat Tahqiq
Musnad Ahmad No. 24783. Syaikh Al Albani juga menshahihkannya. Lihat Shahihul
Jami’ No. 2132)
Maka menyakitinya ketika sudah wafat adalah sama dengan
menyakitinya ketika masih hidup, yaitu sama dalam dosanya. (Imam Abu Thayyib
Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 9/18) karena mayit juga merasakan sakit. (Ibid)
Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata:
أذى
المؤمن في موته كأذاه في حياته
Menyakiti seorang mukmin ketika matinya, sama dengan
menyakitinya ketika dia masih hidup. (Lihat Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
No. 12115)
Dengan demikian, pada dasarnya adalah hal yang terlarang
menyakiti dan melukai mayit muslim menurut keterangan-keterangan di atas,
termasuk membedah mayit.
Bagaimana
Jika Darurat? Dan Daruratnya seperti apa?
Keadaan darurat
(sangat mendesak) memang membuat perkara yang pada dasarnya haram menjadi
dibolehkan. Hal ini sesuai dengan kaidah:
الضَّرُورِيَّاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
Keadaan darurat membuat boleh
hal-hal yang terlarang. (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair,
Hal. 84. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Kaidah ini berasal dari ayat:
فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“ Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Al
An’am (6): 145)
Atau ayat lainnya:
وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
Sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya. (QS. Al An’am (6): 119)
Namun, yang menjadi masalah adalah keadaan bagaimanakah
yang sudah masuk zona darurat itu? Para ulama kita telah menyebutkan bahwa
keadaan darurat itu terjadi jika sudah mengancam eksistensi dari salah satu
atau lebih dari lima hal; yaitu agama, nyawa, akal, harta, dan keturunan. Ini
diistilahkan dengan Dharuriyatul Khamsah. Sementara Imam Al Qarrafi
menambahkan menjadi enam dengan “kehormatan”.
Jika belum mengancam, dan masih bisa diupayakan dengan
cara lain atau alternatif yang dapat menggantikannya, maka tidak bisa dikatakan
darurat. Sehingga keharamannya tidak
berubah.
Otopsi
Untuk Kepentingan Praktek Kedokteran dan Ilmu Pengetahuan
Nah, apakah
praktikum kedokteran masuk ke wilayah darurat? Yakni memang tidak ada
alternatif lain selain menggunakan mayit manusia. Bisa jadi memang ada hewan
yang anatominya sama dengan manusia, tapi apakah pada bagian detailnya memang
sama semuanya? Bukankah Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya
bentuk, yang berarti memang tidak ada yang menyamainya kecuali manusia juga?
Maka, masalah ini para ulama kita berbeda pendapat.
Ada yang membolehkan secara mutlak,
mengharamkan secara mutlak, dan ada pula
yang merinci dan melihatnya secara per kasus.
Kelompok pertama, yang membolehkan secara mutlak, di antaranya adalah
yang dikeluarkan oleh Majma’ Fiqih Al Islami di Mekkah pada Daurah
mereka yang ke 10. Disebutkan dalam Fiqhun Nawazil fil ‘Ibadat:
إذا
تعارضت مصلحتان تقدم أعلى المصلحتين فعندنا مصلحة الميت أنه لا يشرح وعندنا
المصلحة العامة وهي أنه يشرح كي يستفيد الناس ويتعلم هؤلاء الطلاب الذين سيتمكنون
من مداواة الناس ..إلخ فقالوا المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة. كذلك
أيضاً إذا تعارضت مفسدتان فإنه ترتكب أدنى المفسدتين ، فتشريحه مفسدة والجهل
بأحكام علم الطب مفسدة عامة فترتكب أدنى المفسدتين
Jika bertemu dua maslahat maka mesti diutamakan maslahat
yang lebih tinggi, maka menurut kami maslahat bagi mayit dengan tidak
dibedah, adapun bagi kami maslahat
orang banyak adalah dengan cara membedah
agar manusia mendapatkan faidah dan para mahasiswa bisa mempelajari
bagaimana pengobatan bagi manusia ... dan seterusnya. Mereka mengatakan:
maslahat umum lebih diutamakan dibanding maslahat yang khusus. Demikian juga,
jika bertemu dua mafsadat (kerusakan/mudharat) maka yang dijalankan adalah
kerusakan yang lebih ringan. Membedah mayit adalah kerusakan, namun bodoh
terhadap aturan ilmu kedokteran itu merupakan kerusakan yang umum, maka yang
dijalankan adalah yang kerusakannya lebih ringan. (Dr. Khalid bin Ali Al
Musyaiqih, Fiqhun Nawazil, Hal. 62)
Dalam Majalah Majma’ Fiqh Al Islami juga
disebutkan:
نعم
إن الدين الإسلامي كرم الإنسان حياً وميتاً ، فحرم العبث بجثث الموتى والتمثيل بها
، إلا أن الشريعة أجازت تشريح جثث الموتى عندما يكون تشريح الجثة وسيلة ضرورية
للتعليم وإتقان مهنة الطب لتأهيل أطباء أكفاء يفيدون المجتمع الإسلامي
Benar, Islam adalah agama yang memuliakan manusia baik
ketika hidup dan mati maka Islam mengharamkan mempermainkan mayit, memotong,
dan mencincangnya, hanya saja syariat membolehkan membedah mayit ketika hal itu
merupakan sarana yang mendesak untuk mempelajari dan mengetahui secara detail
dan mudah ilmu kedokteran, dan memperbaiki kemajuan kemampuan para dokter dan
bisa memberikan manfaat bagi masyarakat Islam. (Majalah Majma’
Fiqh Al Islami, 4/60)
Ada pun Kelompok kedua, yang mengharamkan
secara mutlak. Berikut uraiannya:
واستدلوا
على ذلك بأدلة :
قول
الله ( {وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ
مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً } .حديث عائشة رضي الله
تعالى عنها أن النبي ( قال : " كسر عظم الميت ككسره حياً " أن العلماء مجمعون على أن الخصاء - يعني قطع
خصتي أهل الحرب والأرقاء - محرم .أن الشارع نهى عن المثلة والنُّهبة كما في حديث
قتادة ( أن النبي ( نهى عن النهبة والمثلة" .حديث
أبي مرثد أن النبي ( قال: " لا تجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها " فإذا كان الجلوس محرم فبتشريح الجثة من باب أولى
Mereka beralasan dengan dalil-dalil berikut:
-
Firman Allah Ta’ala: (dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan).
-
Hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bahwa Nabi bersabda: (mematahkan
tulang mayit adalah seperti mematahkannya ketika masih hidup)
-
Ulama telah sepakat bahwa pengebirian – yakni memotong testis ahlul harbi dan budak- adalah haram,
maka pembuat syariat melarang mencincang dan merampas mayit, sebagaimana dalam
hadits Qatadah: (bahwa Nabi melarang merampas dan mencincang mayit)
-
Hadits Abu Martsad dari Nabi, bersabda; (janganlah kalian duduk di atas
kuburan dan jangan shalat menghadap kepadanya), maka jika duduk di atas
kubur saja diharamkan apalagi membedahnya, itu lebih utama untuk diharamkan. (Fiqhun
Nawazil, Hal. 63)
Kelompok ketiga, tidak mengharamkan secara mutlak, dan tidak pula
membolehkan secara mutlak, tetapi mereka merincinya. Berikut keterangannya:
أنه
يجوز تشريح جثة الكافر لغرض التعلم وأما المسلم فلا يجوز تشريح جثته , وهذا القول
هو الذي صدرت به قرار هيئة كبار العلماء في المملكة العربية السعودية رقم (47)
Bahwasanya
boleh saja membedah mayit orang kafir untuk maksud pengajaran. Ada pun mayit
muslim maka tidak boleh membedahnya. Ini
adalah pendapat yang diputuskan oleh Hai’ah Kibar Al ‘Ulama di Kerajaan
Saudi Arabia, fatwa No. 47. (Ibid)
Alasan kelompok ini
adalah:
أن
الله (قال في حق الكافر : { وَمَن يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِن مُّكْرِمٍ إِنَّ
اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} ، فكرامة الكافر ليست ككرامة المسلم فهي أخف وحرمته
ليست كحرمة المسلم ،فالكافر أهان نفسه بالكفر وعدم الإيمان فليس له مكرم , فقالوا
بأن هذا يسوغ تشريح جثة الكافر دون المسلم .
Sesungguhnya Allah Ta’ala
berfirman tentang hal yang menjadi hak kaum kafir: (Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka
tidak seorangpun yang memuliakannya ) maka kemuliaan orang kafir tidaklah
seperti halnya kemuliaan orang muslim, dia lebih ringan, dan kehormatannya
tidak seperti kehormatan seorang muslim. Jadi, orang kafir telah menghinakan
dirinya dengan kekafirannya dan tanpa keimanannya, maka dia tidak memiliki
kemuliaan. Maka, mereka mengatakan atas dasar inilah bolehnya membedah mayit
kafir, dan tidak bagi mayit muslim. (Fiqhun Nawazil,Hal. 63)
Lengkapnya Fatwa Hai’ah Kibar
Al ‘Ulama sebagai berikut:
وظهر
أن الموضوع ينقسم إلى ثلاثة أقسام
الأول
التشريح لغرض التحقق من دعوى جنائية.
الثاني
التشريح لغرض التحقق عن أمراض وبائية لتتخذ على ضوئه الاحتياطات الكفيلة بالوقاية
منها.
الثالث
التشريح للغرض العلمي تعلماً وتعليماً.
وبعد
تداول الرأي والمناقشة ودراسة البحث المقدم من اللجنة المشار إليه أعلاه قرر المجلس
مايلي
بالنسبة
للقسمين الأول والثاني فإن المجلس يرى أن في إجازتها تحقيقاً لمصالح كثيرة في
مجالات الأمن والعدل ووقاية المجتمع من الأمراض الوبائية، ومفسدة انتهاك كرامة
الجثة المشرحة مغمورة في جنب المصالح الكثيرة والعامة المتحققة بذلك، وإن المجلس
لهذا يقرر بالإجماع إجازة التشريح لهذين الغرضين سواء كانت الجثة المشرحة جثة
معصوم أم لا.
وأما
بالنسبة للقسم الثالث وهو التشريح للعرض التعليمي فنظراً إلى أن الشريعة الإسلامية
قد جاءت بتحصيل المصالح وتكثيرها، وبدرء المفاسد وتقليلها، وبارتكاب أدنى الضررين
لتفويت أشدهما، وأنه إذا تعارضت المصالح أخذ بأرجحها، وحيث إن تشريح غير الإنسان
من الحيوانات لا يغني عن تشريح الإنسان، وحيث إن في التشريح مصالح كثيرة ظهرت في
التقدم العلمي في مجالات الطب المختلفة. فإن المجلس يرى جواز تشريح جثة الآدمي في
الجملة، إلا أنه نظراً إلى عناية الشريعة الإسلامية بكرامة المسلم ميتاً كعنايتها
بكرامته حياً وذلك لما روى أحمد وأبو داود ابن ماجه عن عائشة ــ رضي الله عنها ــ
أن النبي، صلى الله عليه وسلم، قال ((كَسْرُ عَظْمِ الَمَّيتِ كَكَسْرِهِ
حَيََّا)). ونظراً إلى أن التشريح فيه امتهان لكرامته، وحيث إن الضرورة إلى ذلك
منتفية بتيسر الحصول على جثث أموات غير معصومة، فإن المجلس يرى الاكتفاء بتشريح
مثل هذه الجثث وعدم التعرض لجثث أموات معصومين والحال ما ذكر. والله الموفق وصلى
الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم. . .
هيئة
كبار العلماء
Nampaknya masalah ini mengandung tiga bagian, yaitu :
- Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat
terjadi tindakan kriminalitas
- Otopsi mayat untuk mengetahui adanya wabah penyakit
agar bisa diambil tindakan preventif secara dini
- Otopsi mayat untuk belajar ilmu kedokteran
Setelah didiskusikan dan saling mengutarakan
pendapat, maka majelis
memutuskan sebagai berikut :
Untuk masalah pertama
dan kedua, majelis
berpendapat tentang diperbolehkannya hal
itu demi mewujudkan banyak kemaslahatan dalam bidang keamanan,
keadilan dan tindakan pencegahan
dari wabah penyakit. Adapun mafsadat
yang ada yaitu merusak kehormatan mayit yang di otopsi bisa tertutupi jika dibandingkan dengan kemaslahatannya yang
sangat banyak. Maka majelis
sepakat menetapkan diperbolehkan melakukan otopsi mayit untuk dua tujuan ini, baik mayit itu ma’shum (mayit muslim) ataukah tidak.
Adapun yang ketiga yaitu
yang terkait dengan tujuan pendidikan kedokteran, maka memandang bahwa
syariat Islam
datang dengan membawa,
serta memperbanyak kemaslahatan dan mencegah serta memperkecil kerusakan dengan cara melakukan kerusakan yang paling ringan serta maslahat yang
paling besar, juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang juga
karena pembedahan ini banyak mengandung maslahat seiring dengan perkembangan
ilmu medis, maka majelis
berpendapat bahwa secara umum diperbolehkan untuk membedah mayat muslim. Hanya
saja karena Islam menghormati seorang
muslim baik hidup maupun mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Abu Dawud dan Ibnu majah dari Aisyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda : “Mematahkan tulang mayit
sebagaimana mematahkannya tatkala masih hidup.”
Juga melihat bahwa bedah itu menghinakan kehormatan
jenazah muslim, padahal itu semua bisa dilakukan terhadap jasad orang yang tidak
memiliki ‘ishmah (tidak memiliki keterjagaan dari darah dan hartanya
yakni mayit non muslim, pen), maka majelis berpendapat bahwa bedah
tersebut cuma bisa dilakukan terhadap mayit yang tidak ma’shum (mayit
non muslim) bukan terhadap mayit yang ma’shum (muslim). Wallahul
Muwaffiq wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa
sallam ... Hai’ah Kibar Al Ulama. (Lihat Fatawa Islamiyah, 2/110)
Dan,
pendapat kelompok ketiga ini nampaknya lebih mendekati kebenaran.
Kami
menambahkan, bahwa bisa juga dirinci sebagai berikut:
-
Jika seorang atau sekelompok ilmuwan dan mahasiswa membutuhkan dengan sangat
mendesak mayit manusia yang terkena penyakit aneh, mereka mencari dan meneliti tentang wabah penyakit,
virus, dan semisalnya, yang ada padanya. Penelitian ini bermaslahat secara
pasti buat kehidupan manusia secara umum, agar bisa mengetahui dan menghindar
penyakit misterius sepertinya. Ini pun juga penelitian baru yang belum ada
sebelumnya, maka tidak apa-apa melakukan pembedahan terhadap mayit manusia
tersebut, baik mayit muslim atau bukan. Sebab Al Mashlahah Al ‘Ammah
muqaddamatun ‘alal Mafsadah Al Khaashah (maslahat umum lebih diutamakan
dibanding kerusakan yang khusus dan terbatas). Ini pun harus mendapatkan izin
dari wali si mayit.
-
Jika seorang mahasiswa kedokteran praktikum, dan dia memerlukan mayit untuk
itu, dan ini pun diperintahkan oleh para dosennya. Maka sebaiknya dia
menggunakan mayit yang sebelumnya sudah dijadikan bahan penelitian (misal mayat
itu sudah dijadikan bahan penelitian oleh kasus yang saya sebut di atas), atau
dengan menggunakan hewan yang memiliki anatomi yang hampir sama dengan manusia.
Hal ini disebabkan tidak ada yang baru dalam penelitian ini, dan hanya demi
kepentingan pribadi yakni nilai kuliah saja. Kaidahnya adalah Adh Dharar Laa
Tuzaal bidh Dharar (kerusakan tidak boleh dihilangkan dengan cara yang
rusak juga). Tidak mendapatkan nilai adalah mudharat bagi si mahasiswa, dan
membedah mayit adalah mudharat bagi mayit tersebut, maka tidak boleh
menghilangkan mudharat si mahasiswa dengan menggunakan dan menghasilkan
mudharat baru bagi orang lain (si mayit).
Kalau pun masih terpaksa menggunakan mayit manusia, maka menggunakan
mayit non muslim adalah lebih selamat, sebab mereka tidak ada ‘ishmah,
baik dalam keadaan hidup dan matinya.
Syarat Pembedahan (Otopsi)
Ada beberapa syarat yang mesti
dipenuhi:
1.
Keadaan darurat di sini mesti sesuai kebutuhan dan kadarnya. Jika yang ingin diteliti adalah tubuh bagian
tangan, maka bedahnya hanya bagian tangan. Tidak benar membedah mata dan lainnya apalgi dengan tujuan coba-coba.
2. Jika mayitnya laki-laki maka pihak yang
membedah adalah laki-laki, juga sebaliknya jika mayit perempuan. Sebab aurat
orang mati sama dengan aurat orang hidup, ini menurut mayoritas ulama.
3.
Potongan-potongan tubuh yang dibedah atau diteliti hendaknya dikubur setelah digunakan, sebagai
bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap manusia.
Demikian sikap Islam terhadap
bedah mayit untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama Islam berasal dari Allah SWT. Memahami Islam secara benar
akan mengantarkan umatnya
dalam pengamalan islam dengan baik. Penetapan
hukum untuk kejelasan dalam melaksanakan suatu ibadah atau perbuatan agar tidak
menimbulkan keragu-raguan didalam pelaksanaannya.
Adapun kesimpulan dari makalah ini
ialah sebagai berikut:
1.
Seorang
muslim dan muslimah adalah terhormat dan terjaga baik darah dan hartanya. Tidak
boleh menodai kehormatan mereka, kecuali
ada hak Islam yang mereka langgar.
2.
Keadaan
darurat (sangat mendesak) memang membuat perkara yang pada dasarnya haram
menjadi dibolehkan
الضَّرُورِيَّاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
3.
“Apabila
berbenturan antara dua kemaslahatan maka di lakukan yang paling banyak
maslahatnya juga apabila berbenturan antara dua mafsadah maka di lakukan yang
paling ringan mafsadahnya”
(Lihat Al
Qowaid Al Fiqhiyah Syaikh As Sa’di hal : 45-48)
4. “Dengan ini terjawablah pertanyaan
yang sering dilontarkan mahasiswa fakultas kedokteran yaitu : “Apakah boleh
memecahkan tulang mayat untuk dijadikan bahan penelitian kedokteran ?
Jawabnya : “Tidak boleh dilakukan terhadap mayat muslim
namun boleh terhadap lainnya. (Ahkamul Janaiz hal : 299)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar